Dunia Digital: Simbiosis atau Parasit?

Abang Edwin SA
3 min read1 day ago
Photo by Filip on Unsplash

Baru-baru ini, saya membaca artikel menarik dari Mark Schaefer di Medium berjudul The Parasite Economy: An Upside for Creators. Artikel ini langsung menarik perhatian saya karena menyajikan pandangan yang berbeda dari kritik Ted Gioia terhadap platform digital modern dalam tulisannya, “Are We Now Living in a Parasite Culture?”

Gioia mengajukan argumen yang sederhana tapi kuat. Menurutnya, perusahaan-perusahaan terbesar saat ini adalah “bisnis parasit” yang tidak banyak menciptakan produk sendiri, tetapi mendapatkan keuntungan besar dari kreativitas orang lain. Jika dibandingkan dengan raksasa industri di masa lalu — Ford yang memproduksi mobil, Boeing yang membuat pesawat, dan GE yang menghasilkan peralatan rumah tangga — perusahaan-perusahaan ini mengubah bahan mentah menjadi produk nyata.

Namun, apakah perbandingan ini adil? Seorang pemilik mal pernah memberikan perspektif yang menarik kepada saya. “Kami tidak menciptakan apa pun di mal kami,” katanya, “tetapi kami menyediakan infrastruktur yang memungkinkan bisnis berkembang. Kami tidak peduli berapa banyak penghasilan penyewa kami, tetapi mereka membayar harga tetap untuk ruang dan layanan yang kami sediakan.”

Analogi ini sangat tepat untuk menggambarkan model bisnis platform. Seperti mal yang menyediakan infrastruktur fisik, keamanan, dan aliran pengunjung, platform digital menawarkan infrastruktur teknis, lalu lintas pengguna, dan mekanisme pencarian. Perbedaan utamanya adalah pada skala dan biaya marjinal — sementara mal memiliki batasan fisik, platform digital dapat berkembang hampir tanpa batas dengan biaya tambahan yang minimal.

Coba kita lihat Sarah, seorang seniman perhiasan yang saya kenal. Di dunia ritel tradisional, dia harus meyakinkan butik untuk menjual karyanya (dengan mengorbankan 50–60% dari margin ritel) atau menyewa ruang ritel yang mahal. Sebaliknya, dia menjual karyanya melalui Etsy, menjangkau pelanggan di seluruh dunia sambil bekerja dari rumah. Memang, dia harus membayar biaya platform, tetapi pasar yang dia capai jauh lebih besar dari sebelumnya.

Atau ambil contoh Marcus, seorang musisi yang dulu harus mengeluarkan ribuan dolar untuk merekam demo dan mengirimkannya ke label rekaman dengan harapan diterima. Sekarang, dia bisa merilis musiknya langsung di Spotify dan YouTube, membangun penghasilan yang layak dari audiens global — sesuatu yang hampir mustahil dilakukan dua puluh tahun lalu.

Persepsi bahwa kreator mendapatkan lebih sedikit di dunia digital memang sering muncul, namun hal ini perlu kita kaji lebih dalam. Kita cenderung terlalu fokus pada persentase pembagian pendapatan platform daripada melihat peluang besar yang tercipta. Ketika kita melihat seorang YouTuber dengan sejuta penayangan hanya menghasilkan jumlah yang tampak kecil, kita merasa itu tidak adil. Namun, kita lupa bahwa menjangkau sejuta orang melalui saluran tradisional hampir mustahil bagi kebanyakan kreator di masa lalu.

Ada juga dimensi psikologis yang menarik. Penghasilan dari dunia digital sering kali terasa kurang “nyata” dibandingkan transaksi fisik, meskipun jumlahnya sama. Ini mirip dengan bagaimana orang cenderung lebih mudah menghabiskan uang menggunakan kartu kredit daripada uang tunai — ada sesuatu dalam transaksi fisik yang terasa lebih nyata.

Paradoks nilai digital ini mungkin bisa menjelaskan mengapa orang lebih enggan membayar untuk konten digital tetapi dengan mudah menghabiskan $5 untuk secangkir kopi, atau mengapa seorang musisi jalanan yang mendapatkan $100 tunai bisa merasa lebih sukses dibandingkan kreator digital yang mendapatkan $1000 melalui platform.

Mungkin kita masih berada dalam masa transisi, di mana hubungan psikologis kita dengan nilai digital belum sepenuhnya sejalan dengan kenyataan ekonomi digital. Sama seperti uang kertas yang dulu diragukan dibandingkan emas, penghasilan digital mungkin terasa kurang “nyata” meskipun memiliki nilai yang setara atau bahkan lebih besar.

Faktanya, platform bukanlah parasit — mereka lebih seperti penyedia infrastruktur digital. Meskipun wajar untuk mendebatkan model pembagian pendapatan dan kekuatan pasar mereka, kita tidak boleh mengabaikan bagaimana mereka telah mendemokratisasi akses ke pasar dan audiens. Tantangannya bukan pada keberadaan platform itu sendiri, melainkan bagaimana memastikan mereka berkembang untuk melayani para kreator yang menjadi penggerak utama mereka.

Seiring kita terus menavigasi transformasi digital ini, mungkin pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah apakah kita hidup dalam budaya parasit, tetapi bagaimana kita bisa lebih menyelaraskan kesuksesan platform dengan kesuksesan kreator. Karena, dalam hubungan simbiosis yang sejati, tuan rumah dan mitranya harus berkembang bersama.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat, silakan tinggalkan komentar, berlangganan feed saya, bagikan dengan teman dan kolega Anda, atau cukup beri tepuk tangan pada artikel ini atau belikan saya kopi. Dukungan Andalah yang membuat saya termotivasi untuk membuat lebih banyak konten yang saya harap bisa berguna bagi kita semua. Bersama-sama, kita dapat terus belajar dan menemukan hal-hal baru. Terima kasih telah mengapresiasi tulisan saya!

--

--

Abang Edwin SA

Konsultan Digital, Penulis, Podcaster, Vlogger yang sekarang berkutat di dunia pendidikan sebagai dosen di Universitas Podomoro